Senin, 20 April 2015

Metode Penelitian-VALIDITAS DAN RELIABILITAS

Nama          : Matirah
NIM            : 301 13 11 065
Kelas          : 4AK3

METODOLOGI PENELITIAN BISNIS
BAB VIII : VALIDITAS DAN RELIABILITAS

A.  PENDAHULUAN
Setelah variabel didefinisikan secara operasi dan menerapkan teknik penskalaannya, maka harus diyakinkan bahwa instrumen yang dibuat harus mengukur senyatanya (actually) dan seakuratnya (accurately) apa yang harus diukur dari konsep. Pengukuran konsep senyatanya berhubungan dengan validitas (seberapa  aktual dapat dikatakan valid) dan pengukuran seakuratnya berhubungan dengan reliabilitas  (seberapa akurat dapat diandalkan). Di samping itu, pengukuran juga harus memnuhi tuntutan operainya sehingga dapat dipraktekkan atau praktekabilitas (practicality) yang didefinisikan sebagai ekonomis, nyaman dan dapat diinterpretasikan. Dengan demikian, pengukuran yang baik memenuhi kriteria validitas, reliabilitas, dan praktekabilitas.

B.  PERBEDAAN VALIDITAS DAN RELIABILITAS
Konsep validitas dan reliabilitas seringkali membingungkan. Karena kedua konsep tersebut berbeda, maka peneliti harus dapat membedakannya dengan benar.
Validitas (validity) menunjukkan seberapa jauh suatu tes atau satu set dari operasi – operasi mengukur apa yang seharusnya diukur (Ghiselli et al., 1981, hal 266). Azwar (2000, hal 5) mengartikan validitas sebagai sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan  fungsi ukurannya. Issac dan Michael (1981, hal 120) menjelaskan bahwa validitas informasi menunjukkan tingkat dari kemampuan tes untuk mencapai sasarannya.
Reliabilitas (relability) suatu pengukur menunjukkan stabilitas dan konsistensi dari suatu instrumen yang mengukur suatu konsep dan berguna untuk mengakses “kebalikan” dari suatu pengukur (sekaran, 2003). (Ghiselli, 1981) mendefinisikan reliabilitas suatu pengukur sebagai seberapa besar variasi tidak sistematik dari penjelasan kuantitatif dari karakteristik  - karakteristik suatu individu jika individu yang sama diukur berapa kali. Isaac dan Michael (1981, hal. 123) mendefinisikan reliabilitas sebagi konsistensi antar pengukuran – pengukuran secara berurutan.
C.  VALIDITAS EKSTERNAL
Validitas eksternal (external validity) menunjukkan bahwa hasil dari suatu penelitian adalah valid yang dapat digeneralisasi ke semua obyek, situasi dan waktu yang berbeda. Validitas eksternal ini banyak berhubungan dengan pemilihan sampel.
Supaya mempunyai tingkat validitas yang tinggi, sampel penelitian harus memenuhi kriteria sebagai berikut ini:
1.    Dapat digeneralisasikan hasilnya ke semua objek yang berbeda.
2.    Dapat digeneralisasikan hasilnya ke semua situasi yang berbeda.
3.    Dapat digeneralisasikan hasilnya ke semua waktu yang berbeda.

D.   VALIDITAS INTERNAL
Validitas internal (internal validity) menunjukkan kemampuan dari instrumen riset mengukur apa yang seharusnya diukur dari suatu konsep. Validitas internal digunakan untuk menjawab pertanyaan apakah riset sudah menggunakan konsep yang seharusnya (actually). Validitas internal dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu validitas isi (content validity), validitas berhubungan dengan kriteria (criterion-related validity) dan validitas konstruk (construct validity).
Validitas Isi (Content validity)
Validitas isi menunjukkan tingkat seberapa besar Item-item di instrumen mewakili konsep yang diukur.
Validitas berhubungan dengan Kriteria
Validitas ini digunakan untuk mengukur perbedaan-perbedaan individual berdasarkan kriteria yang digunakan. Validitas ini terdiri dari validitas serentak dan validitas prediktif.
Validitas serentak digunakan jika suatu skala membedakan individu-individu yang sudah diketahui berbeda berdasarkan kriteria tertentu pada saat pengukuran dan supaya dikatakan valid, skala pengukuran tersebut harus harus dapat memberikan nilai yang berbeda terhadap individu-individu yang berbeda tersebut pada saat pengukuran.
Validitas prediktif menunjukkan kemampuan dari instrumen untuk mengukur perbedaan antara individu-individu berdasarkan kriteria-kriteria yang diprediksikan.
Validitas Konstruk (construct validity)
          Validitas konstruk menunjukkan seberapa baik hasil-hasil yang diperoleh dari penggunaan suatu pengukur sesuai dengan teori-teori yang digunakan untuk mendefinisikan suatu konstruk. Validitas konstruk dapat dapat dinilai melalui validitas konvergen dan validitas diskriminasi.
          Validitas konvergen (convergent validity) terjadi jika skor-skor yang diperoleh dari dua instrumen yang berbeda yang mengukur konstruk yang sama mempunyai korelasi yang tinggi. Sedangkan validitas diskriminasi (discriminant validity) terjadi jika dua instrumen yang berbeda jika dua buah konstruk yang diperediksikan tidak berkorelasi menghasilkan skor-skor yang memang tidak berkorelasi.


          Validitas konstruk dapat diukur dengan menggunakan beberapa cara, yaitu sebagai berikut:
1.    Multitrait, multimethod matriks of Corrections yang dikembangkan oleh Campbell dan Fiske pada tahun 1959. Untuk contoh cat ani dapat dilihat di Azwar (2000) dan di Ghissel et la. (1981) dan Issac dan Michael (1981).
2.    Analisis faktor (factor analysis).

E.  RELIABILITAS DAN KOEFISIEN RELIABILITAS
Telah dibahas sebelumnya bahwa reliabilitas (reability) adalah tingkat seberapa besar suatu pengukur mengukur dengan stabil dan konsisten. Besarnya tingkat reliabilitas ditunjukkan oleh nilai koefisiennya, yaitu koefisien reliabilitas.
Koefisien reliabilitas mengukur tingginya reliabilitas suatu alat ukur. Beberapa pendekatan digunakan untuk menghitung nilai koefisien reliabilitas. Pendekatan–pendekatan ini adalah sebagai berikut ini.
1. Tes-tes-ulang (tes-retest)
2. Bentuk-paralel (parallel-form)
3. separo-dipecah (split-half)
Tes-tes ulang
Pendekatan tes-tes-ulang dilakukan dengan melakukan dua kali tes berurutan pada kelompok subjek yang sama dengan alat ukur atau instrumen yang sama.
Bentuk-Paralel
Bentuk-paralel atau sering disebut juga bentuk-alterneit (alternate-form) dilakukan dengan melakukan dua tes bersamaan (paralel) pada dua kelompok subjek yang berbeda dengan alat ukur atau instrumen yang sama.
Separo-Dipecah
Separo-dipecah (split-half) dilakukan dengan melakukan sebuah tes pada satu kelompok subjek dan membagi item-item di tes menjadi dua separoan.
Koefisien konsistensi internal dapat diperoleh dari koefisien korelasi Products momen biasa atau dengan koefisien korelasi Spearman-Brown yang merupakan korelasi dari koefisien korelasi Products momen. Rumus untuk koefisien korelasi Spearmen-Brown adalah sebagi berikut ini.

Kotak Teks: r_SB=□((〖2r〗_(1/2 ) 〖_(1/2)〗 )/(1 + r_(1/2) 〖_(1/2)〗))
 





Sumber: Hartono, J. (2004). Metodologi Penelitian Bisnis. Yogjakarta: BPFE.

Rabu, 15 April 2015

Perilaku Organisasi-KONSEP-KONSEP MOTIVASI

RKM
RINGKASAN MATERI KULYAH
PERILAKU ORGANISASI
KONSEP-KONSEP MOTIVASI


NAMA            : MATIRAH
NIM                : 301 13 11 065
KELAS           : 4AK3

A.     Definisi Motivasi
Motivasi sebagai proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya. Motivasi secara umum berkaitan dengan usaha mencapai tujuan apa pun, fokus dipersempit menjadi tujuan-tujuan organisasional untuk mencerminkan minat terhadap perilaku yang berhubungan dengan pekerjaan. Tiga elemen utama dalam definisi tersebut adalah intensitas, arah, dan ketekunan.Intensitas berhubungan dengan seberapa giat seseorang berusaha. Intensitas yang tinggi tidak akan menghasilkan prestasi kerja yang memuaskan kecuali upaya tersebut dikaitkan dengan arah yang menguntungkan organisasi. Terakhir, motivasi memiliki dimensiketekunan yang dimana merupakan ukuran berapa lama seseorang bisa mempertahankan usahanya.

B.     Teori-Teori Motivasi Jaman Dahulu
Hierarki Teori Kebutuhan
Maslow memisahkan lima kebutuhan ke dalam urutan-urutan yang lebih tinggi dan lebih rendah. Kebutuhan fisiologis dan rasa ama dideskripsikan sebagai kebutuhan tingkat bawah (lower-order needs); kebutuhan sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri sebagai kebutuhan tingkat atas (higher-order needs). Perbedaan antara kedua tingkatan tersebut didasarkan pada dasar pemikiran bahwa kebutuhan tingkat atas dipenuhi secara internal (di dalam diri seseorang), sementara kebutuhan tingkat rendah secara dominan dipenuhi secara eksternal (oleh hal-hal seperti imbalan kerja, kontrak serikat kerja, dan masa jabatan).
Teori kebutuhan Maslow telah diterima di kalangan manajer pelaksana, dapat dikaitkan dengan logika intuitif dan kurangnya pemahaman, sayangnya Maslow tidak memberikan bukti empiris, dan beberapa penelitian yang berusaha mengesahkan teori tersebut tidak menemukan pendukung yang kuat. Clayton Alderfer berusaha mengolah hierarki kebutuhan Maslow, yaitu menelaah dengan teori ERG (ERG theory).
Teori ERG menjelaskan bahwa terdapat tiga kelompok kebutuhan inti-kehidupan (sama dengan kebutuhan fisiologis dan keamanan milik Maslow, hubungan (sama kebutuhan sosial dan status milik Maslow), dan pertumbuhan (sama dengan kebutuhan penghargaan dan aktualisasi diri miliki Maslow).

Teori X dan Y
Douglas McGregor mengemukakan dua pandangan nyata mengenai manusia pandangan pertama pada dasarnya negatif, disebut Teori X, dan yang kedua pada dasarnya positif, disebut Teori Y. Menurut Teori X, empat asumsi yang dimiliki oleh manajer adalah:
1)      Karyawan pada dasarnya tidak menyukai pekerjaan dan, sebisa mungkin, berusaha untuk menghindarinya.
2)    Karena karyawan tidak menyukai pekerjaan, mereka harus dipaksa, dikendalikan, atau diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan-tujuan.
3)      Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan mencari perintah formal bila mungkin.
4)     Sebagian karyawan menempatkan keamanan di atas semua faktor lain terkait pekerjaan dan menunjukkan sedikit ambisi.

Sedangkan empat asumsi positif menurut Teori Y:
1)      Karyawan menganggap kerja sebagai hal yang menyenangkan, seperti halnya istirahat atau bermain.
2)      Karyawan akn berlatih mengendalikan diri dan emosi untuk mencapai berbagai tujuan.
3)      Karyawan bersedia belajar untuk menerima, bahjkan mencari, tanggung jawab.
4)      Karyawan mampu membuat berbagai keputusan inovatif yang diedarkan ke seluruh populasi, dan bukan hanya bagi mereka yang menduduki posisi manajemen.
Analisis McGregor tersebut selaras dengan kerangka dasar yang dibuat oleh Maslow. Teori X berasumsi bahwa kebutuhan-kebutuhan tingkat yang lebih rendah mendominasi individu. Teori Y berasumsi bahwa kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi mendominasi individu. McGregor yakin bahwa asumsi-asumsi Teori Y lebih valid daripada Teori X. Sayangnya asumsi-asumsi Teori Y belum tentu valid mengubah tindakan sesesorang yang bekerja akan termotivasi.






Teori dua faktor
Teori dua faktor (two-factor theory) atau teori motivasi higiene (motivation-hygiene theory) yang dikemukakan oleh Frederick Herzberg ini berkeyakinan bahwa ada karakteristik-karakteristik tertentu yang cenderung berhubungan dengan kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja. Faktor intrinsik seperti kemajuan, pengakuan, tanggung jawab, dan pencapaian tampaknya berhubungan dengan kepuasan kerja. Responden yang merasa baik dengan pekerjaan mereka, cenderung menghubungkan faktor-faktor ini dengan diri mereka sendiri. Sebaliknya, responden yang tidak puas cenderung menyebutkan faktor-faktor ekstrinsik, seperti pengawasan, imbalan kerja, kebijaksanaan perusahaan, dan kondisi-kondisi kerja.
Menurut Herzberg, kondisi-kondisi yang melingkupi pekerjaan seperti kualitas pengawasan, imbalan kerja, kebijaksanaan perusahaan, kondisi fisik pekerjaan, hubungan dengan individu lain, dan keamanan pekerjaan digolongkan oleh Herzberg sebagai faktor-faktor higiene (higiene factors).
Ketika faktor-faktor tersebut memadai, orang-orang tidak akan merasa tidak puas, namun bukan berarti mereka merasa puas. Jika kita ingin memotivasi individu dalam pekerjaan mereka, Herzberg menyatakan penekanan faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerjaan itu sendiri atau dengan hasil-hasil yang berasal darinya seperti peluang promosi, peluang pengembangan diri, pengakuan, tanggung jawab, dan pencapaian.

C.    Teori-Teori Motivasi Kontemporer
1.     Teori Kebutuhan McClelland
Teori kebutuhan McClelland dikembangkan oleh David McClelland dan rekan-rekannya yang berfokus pada:
a.  Kebutuhan pencapaian (need for achievement): Dorongan untuk melebihi, mencapai standar-standar, berusaha keras untuk berhasil.
b. Kebutuhan kekuatan (need for power): kebutuhan untuk membuat individu lain berperilaku sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan berperilaku sebaliknya.
c Kebutuhan hubungan (need for affiliation): keinginan untuk menjalin suatu hubungan antarpersonal yang ramah dan akrab.







2.      Teori Evaluasi Kognitif
  Teori evaluasi kognitif adalah teori yang menyatakan bahwa pemberian penghargaan-penghargaan ekstrinsik untuk perilaku yang sebelumnya memuaskan secara intrinsik cenderung mengurangi tingkat motivasi secara keseluruhan. Teori ini memperlihatkan penghargaan-penghargaan ekstrinsik digunakan oleh organisasi-organisasi sebagai imbalan atas kinerja yang unggul, penghargaan-penghargaan intrinsik yang berasal dari individu yang mengerjakan tugas yang mereka sukai, berkurang. Dengan kata lain, ketika penghargaan-penghargaan ekstrinsik diberikan kepada seseorang karena mengerjakan tugas yang menarik, hal itu justru menurunkan minat intrinsik dalam tugas itu sendiri.

3.      Teori Penentuan Tujuan
Edwin Locke mengemukakan bahwa niat untuk mencapai sebuah tujuan merupakan sumber motivasi  kerja yang utama. Artinya, tujuan memberi tahu seorang karyawan apa yang harus dilakukan dan berapa banyak usaha yang harus dikeluarkan. Semakin sulit tujuan tersebut, semakin tinggi tingkat tujuan, semakin besar kemungkinan untuk diterima. Tetapi setelah tugas yang sulit diterima, karyawan tersebut bisa diharapkan untuk mengeluarkan tingkat usaha yang tinggi untuk berusaha mencapainya.
Individu-individu lebih termotivasi oleh tujuan-tujuan yang sulit karena tujuan yang sulit mengarahkan perhatian kita pada tugas yang sudah ada dan menjauh dari gangguan-gangguan yang tidak relevan. Tujuan-tujuan yang menantang mendapatkan perhatian kita dan akhirnya cenderung membantu kita untuk berfokus. Tujuan-tujuan sulit juga menambah semangat karena kita harus bekerja lebih keras untuk mencapainya.
`Ada tiga faktor yang mempengaruhi hubungan tujuan-kinerja. Ketiga faktor tersebut adalah komitmen tujuan, karakteristik tugas dan kultur nasional.

4.      Teori Efektivitas Diri
Efektivitas diri yang dikenal sebagai “teori kognitif sosial” atau “teori pembelajaran sosial”. Semakin tinggi efektivitas diri seseorang, semakin tinggi rasa percaya diri yang ia miliki dalam kemampuannya untuk berhasil dalam suatu tugas. Jadi, dalam situasi-situasi sulit, kita merasa bahwa individu yang memiliki efektivitas diri rendah cenderung mengurangi usaha mereka atau menyerah, sementara individu dengan efektivitas diri tinggi akan berusaha lebih keras untuk mengalahkan tantangan.
Peneliti yang mengembangkan teori efektivitas diri, Albert Bandura, memperlihatkan bahwa ada empat cara untuk meningkatkan efektivitas diri:
1. Penguasaan yang tetap
2. Contoh yang dilakukan oleh indidvidu lain
3. Bujukan verbal
4. Kemunculan
Menurut Bandura, sumber peningkatan efektivitas diri yang paling penting adalah apa yang disebutnya dengan penguasaan tetap. Penguasaan tetap adalah perolehan pengalaman yang relevan dengan tugas atau pekerjaan. Apabila berhasil melakukan suatu pekerjaan di masa lalu, saya yakin akan lebih mampu melakukannya di masa depan.
Sumber kedua adalah contoh yang dilakukan oleh individu lain atau menjadi lebih percaya diri karena anda melihat individu lain melakukan tugas tersebut. Sumber ketiga adalah bujukan verbal. Yaitu menjadi lebih percaya diri karena seseorang meyakinkan anda bahwa anda mempunyai ketrampilan yang dibutuhkan untuk berhasil. Para pembicara motivasional sering sekali menggunakan taktik ini.
Dan sumber yang terakhir adalah kemunculan meningkatkan efektivitas diri. Kemunculan memicu keadaan yang bersemangat yang mendorong seseorang untuk menyelesaikan tugas. Individu tersebut “tergerak” dan bekerja dengan lebih baik. Tetapi ketika tidak relevan, kemunculan merugikan kinerja. Dengan perkataan lain, apabila tugas tersebut adalah sesuatu yang membutuhkan perspektif utama yang lebih rendah dan lebih mantap, kemunculan sebenernya bisa merugikan kinerja.

5.      Teori Penguatan
Teori penguatan mempunyai sebuah pendekatan perilaku, yang menunjukkan bahwa penguatan mempengaruhi perilaku. Teori penguatan mengabaikan keadaan batin individu dan hanya terpusat pada apa yang terjadi pada seseorang ketika ia melakukan tindakan. Dalam bentuk murninya, teori penguatan mengakibatkan perasaan, sikap, harapan, dan variabel kognitif lain yang diketahui mempengaruhi perilaku.

6.      Teori Harapan
Teori harapan yang dikemukakan Victor Vroom menunjukkan bahwa kekuatan dari suatu kecenderungan untuk bertindak dalam cara tertentu bergantung pada kekuatan dari suatu harapan bahwa tindakan tersebut akan diikuti dengan hasil yang ada dan pada daya tarik dari hasil itu terhadap individu tersebut.
Dalam bentuk yang lebih praktis, teori harapan mengatakan bahwa karyawan-karyawan akan termotivasi untuk mengeluarkan tingkat usaha yang lebih tinggi ketika mereka yakin bahwa usaha tersebut akan menghasilkan penilaian kinerja yang baik; penilaian yang baik akan menghasilkan penghargaan-penghargaan organisasional seperti bonus, kenaikan imbalan kerja, atau promosi; dan penghargaan-penghargaan tersebut akan memuaskan tujuan-tujuan pribadi para karyawan.


Oleh karenanya, teori tersebut berfokus pada tiga hubungan:
1)      Hubungan usaha-kinerja. Kemungkinan yang dirasakan oleh individu yang mengeluarkan sejumlah usaha akan menghasilkan kinerja.
2)      Hubungan kinerja-penghargaan. Tingkat sampai mana individu tersebut yakin bahwa bekerja pada tingkat tertentu akan menghasilakn pencapaian yang diinginkan.
3)      Hubungan penghargaan-tujuan-tujuan pribadi. Tingkat sampai mana penghargaan-penghargaan organisasional memuaskan tujuan-tujuan pribadi atau kebutuhan-kebutuhan seorang individu dan daya tarik dari penghargaan-penghargaan potensial bagi individu tersebut.
Teori harapan membantu menjelaskan mengapa banyak pekerja tidak termotivasi dalam pekerjaan-pekerjaan mereka dan hanya melakukan usaha minimum untuk mencapai sesuatu. Satu sumber yang mungkin untuk motivasi karyawan yang rendah adalah keyakinan para karyawan bahwa tidak peduli seberapa keras usaha mereka, kemungkinan untuk mendapatkan penilaian kinerja yang baik sangatlah rendah. Banyak karyawan menganggap lemah hubungan kinerja-penghargaan dalam pekerjaan mereka. Imbalan kerja yang diberikan kepada karyawan berdasarkan faktor-faktor seperti senioritas, kekooperatifan, atau bersikap baik dengan atasan, karyawan-karyawan cenderung menganggap hubungan kinerja-penghargaan itu lemah dan menurunkan motivasi. Namun pentingnya penghargaan-penghargaan yang disesuaikan dengan kebutuhan karyawan individual tidak diperhatikan manajer. Beberapa manajer salah mengsumsikan bahwa semua karyawan menginginkan hal yang sama, sehingga mengabaikan pengaruh-pengaruh motivasional dari penghargaan-penghargaan yang berbeda. Dalam kasus manapun motivasi karyawan diturunkan.
Kunci untuk teori harapan adalah pemahaman tujuan-tujuan seorang individu dan hubungan antara usaha dan kinerja, antara kinerja dan penghargaan, dan akhirnya antara penghargaan dan pemahaman tujuan individual. Sebagai sebuah model kemungkinan, teori harapan mengakui bahwa tidak ada prinsip universal untuk menjelaskan motivasi setiap individu. Selain itu, hanya karena kita memahami kebutuhan-kebutuhan yang ingin dipenuhi oleh seseorang tidak menjamin bahwa individu tersebut merasa kinerja yang tinggi selalu membawa dirinya pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut.








D.    Mengintegrasikan Teori-Teori Motivasi Kontemporer
Dimulai dengan peluang, yang bisa membantu atau menghalangi usaha-usaha individual. Peluang berhubungan dengan tujuan seorang individu, yang mengarahkan pada suatu perilaku. Teori harapan memprediksi bahwa karyawan-karyawan akan mengeluarkan tingkat usaha yang tinggi apabila mereka merasa bahwa ada hubungan yang kuat antara usaha dan kinerja, kinerja dan penghargaan, serta penghargaan dan pemenuhan tujuan-tujuan pribadi. Setiap hubungan ini, nantinya, dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Supaya usaha menghasilkan kinerja yang baik, individu harus mempunyai kemampuan yang dibutuhkan untuk bekerja, dan sistem penilaian kinerja yang mengukur kinerja individu tersebut harus dianggap adil dan obyektif.
Hubungan kinerja-penghargaan akan mejadi kuat bila individu merasa bahwa yang diberi penghargaan adalah kinerja. Apabila teori evaluasi kognitif benar-benar valid di tempat kerja yang aktual, kita bisa memprediksi di sini bahwa mendasarkan penghargaan-penghargaan pada kinerja seharusnya mengurangi motivasi intrinsik individu. Hubungan terakhir dalam teori harapan adalah hubungan penghargaan-tujuan. Motivasi akan tinggi sampai tingkat di mana penghargaan yang diterima oleh seorang individu atas kinerja yang tinggi memenuhi kebutuhan-kebutuhan dominan yang konsisten dengan tujuan-tujuan individual.
Pengintegrasian teori-teori kontemporer mempertimbangkan motivasi pencapaian, rancangan pekerjaan, penguatan, dan teori keadilan organisasional. Individu yang berprestasi tinggi tidak termotivasi oleh penilaian organisasi tentang kinerja atau penghargaan-penghargaan organisasional, karena itu kenaikan dari usaha menuju tujuan-tujuan pribadi mereka yang mempunyao nAch tinggi. Teori penguatan mengakui bahwa penghargaan-penghargaan organisasi menguatakan kinerja individu. Penghargaan juga memainkan peran penting dalam penelitian keadilan organisasional. Individu akan menilai keuntungan dari hasil-hasil mereka bila dibandingkan dengan apa yang diterima individu lain, tetapi juga berkaitan dengan bagaimana mereka diperlakukan-ketika individu merasa kecewa dengan penghargaan-penghargaan mereka, mereka cenderung sensitif dengan keadilan prosedur yang digunakan dan penghargaan yang diberikan kepada mereka oleh pengawas mereka.


Daftar Pustaka:
Stephen Robbins-Timothy A. Judge. Perilaku Organisasi. Edisi 12. Salemba Empat: Jakarta



Metode Penelitian-SAMPEL

Nama          : Matirah
NIM            : 301 13 11 065
Kelas          : 4AK3

METODOLOGI PENELITIAN BISNIS
                                        BAB VI : SAMPEL
A.    PENDAHULUAN
Proses pengambilan sampel merupakan proses yang penting. Proses pengambilan sampel harus dapat menghasilkan sampel yang akurat dan tepat. Sampel yang tidak akurat dan tidak tepat akan memberikan kesimpulan riset yang tidak diharapkan atau dapat menghasilkan kesimpulan kesimpulan salah yang menyesatkan.

B.    KRITERIA SAMPEL 
1.    Akurat
Sampel yang akurat (accurate) adalah sampel yang tidak bias. Beberapa cara dapat dilakukan untuk meningkatkan akurasi dari sampel sebagai berikut ini. 
a. Pemilihan sampel berdasarkan proaksi yang tepat  Misalnya akan dibuat dua buah grup, yaitu grup pertama adalah grup yang berisi perusahaan – perusahaan yang mengalami financial distress dan grup kedua berisi dengan perusahaan – perusahaan yang tidak mengalaminya. Leverage dipilih sebagai proxy untuk financial distress dan perusahaan yang tidak distress, maka proaksi tersebut adalah tidak akurat.
b. Menghindari bias di seleksi sampel  Pemilihan sampel yang bias (sampel selection bias) akan membuat sampel tidak akurat.
c. Menghindari bias hanya di perusahaan – perusahaan yang bertahan  Pemilihan sampel yang bias yang berisi dengan perusahaan – perusahaan yang bertahan (survivorship bias) akan membuat sampel tidak akurat. 
2. Presisi 
Sampel yang mempunyai presisi (precision) yang tinggi adalah yang mempunyai kesalahan pengambilan sampel (sampling error) yang rendah. Kesalahan pengambilan sampel (sampling error) adalah seberapa jauh sampel berbeda dari yang dijelaskan oleh populasinya. Presesi diukur dengan standard error of estimate. Semakin kecil standard error of estimate semakin tinggi presesi sampelnya. Presisi dapat ditingkatkan dengan jumlah sampelnya. Semakin besar sampelnya, semakin kecil kesalahan standar estimasinya. 



C.    METODE PROSES PENGAMBILAN SAMPEL 
Ada dua metode pengambilan sampel, yaitu pengambilan sampel berbasis pada probabilitas (pemilihan secara random) atau pengambilan sampel secara nonprobabilitas (pemilihan nonrandom). Secara probabilitas, metode – metode yang dapat digunakan adalah: 
1. Random sederhana (simple random), dilakukan dengan mengambil secara langsung dari populasinya random.
2. Random komplek (complex random) yang dapat berupa sebagai berikut ini: 
a. Systematic random sampling, dilakukan dengan membagi populasi sebanyak n bagian dan mengambil sebuah sampel pada masing-masing bagian dimulai dari bagian pertama secara random.
b. Cluster sampling, dilakukan dengan membagi populasi menjadi beberapa grup bagian.
c. Stratified sampling, dilakukan dengan membagi populasi menjadi beberapa sub-populasi atau strata dan kemudian pengambilan sampel random sederhana dapat dilakukan di dalam masing-masing strata.
d. Double sampling, mengumpulkan sampel dengan dasar yang ada dan dari informasi yang diperoleh digunakan untuk mengambil sampel berikutnya.
Pengambilan sampel secara nonprobabilitas (pemilihan nonrandom) dapat dilakukan metode – etode sebagai berikut ini: 
1. Convenience, dilakukan dengan memilih sampel bebas sekehendak perisetnya.
2. Purpose, terdiri dari:
a. Judgment, adalah purposive sampling dengan kriteria berupa satu pertimbangan tertentu.
b. Quota, bahwa sampel harus mempunyai karakteristik yang dimiiki oleh populasinya.
3. Snowball Sampling, dilakukan dengan mengumpulkan sampel dari responden yang berasal dari referensi satu jaringan.
D. STRATEGI PENGUMPULAN DATA DAN SUMBER DATANYA 
Terdapat empat strategi pengumpulan data, yaitu (lihat Bucley et al, 1976) sebagai berikut ini. 
1.       Strategi pengamatan langsung (direct observation), yaitu data dikumpulkan dengan mengamati langsung di sumber datannya. Sumber data dari pengamatan langsung dapat diperoleh dari beberapa cara sebagai berikut:
a. Studi kasus (case)
b. Studi lapangan (field)
c. Studi laboratorium (laboratory)
2.       Strategi opini (opinion), yaitu data dikumpulkan melalui pendapat – pendapat responden. Sumber data dari strategi ini dapat diperoleh dari:
a. Responden individu atau
b. Responden group
3.       Strategi arsip (archival), yaitu data dikumpulkan dari catatan atau basis data yang sudah ada. Sumber data strategi ini adalah:
a. Data primer (primary data) dan
b. Data sekunder (secondary data)
4.       Strategi analitikal (analytical). Strategi ini menggunakan data kuantitatif tetapi prinsip atau hipotesis dibuktikan dengan menggunakan lojik matematik periset. 

E. TEKNIK PENGUMPULAN DATA 
Beberapa teknik dapat dilakukan untuk mengumpulkan data. Teknik pengumpulan data tergantung dari strategi dan sumber datanya.
1.    Strategi pengamatan langsung.
a.    Untuk mendapatkan data kasus, teknik pengumpulan data melalui observasi dan wawancara.
b.    Untuk mendapatkan data lapangan, pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi waktu dan gerak.
c.    Untuk data laboratorium, pengumpulan data melalui eksperimen dan simulasi.
2.    Strategi opini.
a.    Untuk data opini individu, pengumpulan dapat digunakan teknik pengumpulan data survei.
b.    Untuk data opini grup, digunakan teknik pengumpulan data Delphi.
3.    Strategi arsip.
a.    Untuk data primer, digunakan pengumpulan data analisis isi.
b.    Untuk data sekunder, digunakan teknik pengumpulan data dari basis data.
4.    Strategi analitiikal, untuk mendapatkan data lojik periset, digunakan model matematik.

F. FAKTOR-FAKTOR PENGARUH DI PENGUMPULAN DATA
1. Mainstream yang dianut.                   6. Validitas luar dan kedalaman riset.
2. Tujuan.                                   7. Validitas internal.
3. Level yang akan diteliti (abstraksi).         8. Biaya.
4. Pengontrolan dari periset.           9. Waktu.
5. Kemudahan riset jika data tersedia.